PARIWARA

Your Ad Here

Sunday, July 31, 2011

Marhaban ya Ramadhan

Hatiku tak sebening air mengalir dari pegunungan.
Sikapku tidak sesempurna ahli surga.
Tutur kataku tak seindah lantunan ayat suci Al-Qur'an.

Saat yang baik ini dan detik menjelang bulan Ramadhan 1432 H perkenankan diriku ini meminta maaf atas semua khilafku pada semua orang yang telah hadir dalam hidupku, baik yang menyayangiku ataupun yang membenciku.

Marhaban ya Ramadhan Tahun 1432
Mohon maaf lahir dan batin.
Baca Selengkapnya »»

Thursday, July 07, 2011

ALAT PEMBANGKIT BIOGAS

Ada dua tipe alat pembangkit biogas atau digester, yaitu tipe terapung (floating type) dan tipe kubah tetap (fixed dome type). Tipe terapung dikembangkan di India yang terdiri atas sumur pencerna dan di atasnya ditaruh drum terapung dari besi terbalik yang berfungsi untuk menampung gas yang dihasilkan oleh digester. Sumur dibangun dengan menggunakan bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membuat fondasi rumah, seperti pasir, batu bata, dan semen. Karena dikembangkan di India, maka digester ini disebut juga tipe India. Pada tahun 1978/79 di India terdapat l.k. 80.000 unit dan selama kurun waktu 1980-85 ditargetkan pembangunan sampai 400.000 unit alat ini.


Tipe kubah adalah berupa digester yang dibangun dengan menggali tanah kemudian dibuat bangunan dengan bata, pasir, dan semen yang berbentuk seperti rongga yang ketat udara dan berstruktur seperti kubah (bulatan setengah bola). Tipe ini dikembangkan di China sehingga disebut juga tipe kubah atau tipe China (lihat gambar). Tahun 1980 sebanyak tujuh juta unit alat ini telah dibangun di China dan penggunaannya meliputi untuk menggerakkan alat-alat pertanian dan untuk generator tenaga listrik. Terdapat dua macam tipe ukuran kecil untuk rumah tangga dengan volume 6-10 meter kubik dan tipe besar 60-180 meter kubik untuk kelompok.

India dan China adalah dua negara yang tidak mempunyai sumber energi minyak bumi sehingga mereka sejak lama sangat giat mengembangkan sumber energi alternatif, di antaranya biogas. Di dalam digester bakteri-bakteri methan mengolah limbah bio atau biomassa dan menghasilkan biogas methan. Dengan pipa yang didesain sedemikian rupa, gas tersebut dapat dialirkan ke kompor yang terletak di dapur. Gas tersebut dapat digunakan untuk keperluan memasak dan lain-lain. Biogas dihasilkan dengan mencampur limbah yang sebagian besar terdiri atas kotoran ternak dengan potongan-potongan kecil sisa-sisa tanaman, seperti jerami dan sebagainya, dengan air yang cukup banyak.

Untuk pertama kali dibutuhkan waktu lebih kurang dua minggu sampai satu bulan sebelum dihasilkan gas awal. Campuran tersebut selalu ditambah setiap hari dan sesekali diaduk, sedangkan yang sudah diolah dikeluarkan melalui saluran pengeluaran. Sisa dari limbah yang telah dicerna oleh bakteri methan atau bakteri biogas, yang disebut slurry atau lumpur, mempunyai kandungan hara yang sama dengan pupuk organik yang telah matang sebagaimana halnya kompos sehingga dapat langsung digunakan untuk memupuk tanaman, atau jika akan disimpan atau diperjualbelikan dapat dikeringkan di bawah sinar matahari sebelum dimasukkan ke dalam karung.

Untuk permulaan memang diperlukan biaya untuk membangun pembangkit (digester) biogas yang relatif besar bagi penduduk pedesaan. Namun sekali berdiri, alat tersebut dapat dipergunakan dan menghasilkan biogas selama bertahun-tahun. Untuk ukuran 8 meter kubik tipe kubah alat ini, cocok bagi petani yang memiliki 3 ekor sapi atau 8 ekor kambing atau 100 ekor ayam di samping juga mempunyai sumber air yang cukup dan limbah tanaman sebagai pelengkap biomassa. Setiap unit yang diisi sebanyak 80 kilogram kotoran sapi yang dicampur 80 liter air dan potongan limbah lainnya dapat menghasilkan 1 meter kubik biogas yang dapat dipergunakan untuk memasak dan penerangan. Biogas cocok dikembangkan di daerah-daerah yang memiliki biomassa berlimpah, terutama di sentra-sentra produksi padi dan ternak di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, dan lain-lain.

Pembangkit biogas juga cocok dibangun untuk peternakan sapi perah atau peternakan ayam dengan mendesain pengaliran tinja ternak ke dalam digester. Kompleks perumahan juga dapat dirancang untuk menyalurkan tinja ke tempat pengolahan biogas bersama. Negara-negara maju banyak yang menerapkan sistem ini sebagai bagian usaha untuk daur ulang dan mengurangi polusi dan biaya pengelolaan limbah. Jadi dapat disimpulkan bahwa biogas mempunyai berbagai manfaat, yaitu menghasilkan gas, ikut menjaga kelestarian lingkungan, mengurangi polusi dan meningkatkan kebersihan dan kesehatan, serta penghasil pupuk organik yang bermutu.

Untuk menuai hasil yang signifikan, memang diperlukan gerakan secara massal, terarah, dan terencana meliputi pengembangan teknologi, penyuluhan, dan pendampingan. Dalam jangka panjang, gerakan pengembangan biogas dapat membantu penghematan sumber daya minyak bumi dan sumber daya kehutanan. Mengenai pembiayaannya mungkin secara bertahap sebagian subsidi BBM dialihkan untuk pembangunan unit-unit pembangkit biogas. Melalui jalan ini, mungkin imbauan pemerintah mengajak masyarakat untuk bersama-sama memecahkan masalah energi sebagian dapat direalisasikan.

oleh : Burhani Rahman
Baca Selengkapnya »»

Monday, June 27, 2011

TEKNOLOGI BIOGAS

Gas methan terbentuk karena proses fermentasi secara anaerobik (tanpa udara) oleh bakteri methan atau disebut juga bakteri anaerobik dan bakteri biogas yang mengurangi sampah-sampah yang banyak mengandung bahan organik (biomassa) sehingga terbentuk gas methan (CH4) yang apabila dibakar dapat menghasilkan energi panas. Sebetulnya di tempat-tempat tertentu proses ini terjadi secara alamiah sebagaimana peristiwa ledakan gas yang terbentuk di bawah tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Leuwigajah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, (Kompas, 17 Maret 2005). Gas methan sama dengan gas elpiji (liquidified petroleum gas/LPG), perbedaannya adalah gas methan mempunyai satu atom C, sedangkan elpiji lebih banyak.

Kebudayaan Mesir, China, dan Roma kuno diketahui telah memanfaatkan gas alam ini yang dibakar untuk menghasilkan panas. Namun, orang pertama yang mengaitkan gas bakar ini dengan proses pembusukan bahan sayuran adalah Alessandro Volta (1776), sedangkan Willam Henry pada tahun 1806mengidentifikasikan gas yang dapat terbakar tersebut sebagai methan. Becham (1868), murid Louis Pasteur dan Tappeiner (1882), memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan methan.

Pada akhir abad ke-19 ada beberapa riset dalam bidang ini dilakukan. Jerman dan Perancis melakukan riset pada masa antara dua Perang Dunia dan beberapa unit pembangkit biogas dengan memanfaatkan limbah pertanian. Selama Perang Dunia II banyak petani di Inggris dan benua Eropa yang membuat digester kecil untuk menghasilkan biogas yang digunakan untuk menggerakkan traktor. Karena harga BBM semakin murah dan mudah memperolehnya pada tahun 1950-an pemakaian biogas di Eropa ditinggalkan.

Namun, di negara-negara berkembang kebutuhan akan sumber energi yang murah dan selalu tersedia selalu ada. Kegiatan produksi biogas di India telah dilakukan semenjak abad ke-19. Alat pencerna anaerobik pertama dibangun pada tahun 1900. (FAO, The Development and Use of Biogas Technology in Rural Asia, 1981). Negara berkembang lainnya, seperti China, Filipina, Korea, Taiwan, dan Papua Niugini, telah melakukan berbagai riset dan pengembangan alat pembangkit gas bio dengan prinsip yang sama, yaitu menciptakan alat yang kedap udara dengan bagian-bagian pokok terdiri atas pencerna (digester), lubang pemasukan bahan baku dan pengeluaran lumpur sisa hasil pencernaan (slurry) dan pipa penyaluran gas bio yang terbentuk.

Dengan teknologi tertentu, gas methan dapat dipergunakan untuk menggerakkan turbin yang menghasilkan energi listrik, menjalankan kulkas, mesin tetas, traktor, dan mobil. Secara sederhana, gas methan dapat digunakan untuk keperluan memasak dan penerangan menggunakan kompor gas sebagaimana halnya elpiji.

Sumber : Burhani Rahman
Baca Selengkapnya »»

Saturday, May 07, 2011

REKAYASA NILAI TAMBAH

Menurut Departemen Pertanian (1999), rekayasa nilai tambah meliputi beberapa aspek, yaitu: 1) aspek pengolahan, 2) aspek pemasaran, 3) aspek kemitraan, 4) aspek standarisasi, dan 5) aspek kelembagaan.
  1. Aspek pengolahan dan pemasaran adalah penerapan teknologi pada pascapanen sehingga dapat meningkatkan kualitas hasil panen dan hal ini tentu berdampak pada peningkatan nilai tambah. 
  2. Aspek kemitraan adalah hubungan kemitraan usaha yang dapat mewujudkan satuan sistem agribisnis yang ditopang oleh keserasian kerjasama antar unsur pelaku agribisnis, petani, pengusaha kecil, koperasi, BUMN, dan swasta. Apabila hubungan kemitraan tercipta dengan baik, maka akan ada nilai tambah yang tercipta dalam sistem agribisnis yang dapat dinikmati oleh pelaku yang terlibat. 
  3. Aspek standarisasi dimaksudkan agar dapat menjamin kepastian akan wujud dan mutu hasil-hasil pertanian sesuai dengan pasar. 
  4. Aspek kelembagaan dapat meningkatkan nilai tambah jika berperan sceara efektif meningkatkan koordinasi dan efisiensi rantai informasi, kemitraan, distribusi sarana produksi, permodalan, dan penanganan pasca panen (termasuk pemasaran dan pengolahan). Lembaga-lembaga tersebut adalah penyuluhan pertanian, lembaga perkreditan, lembaga penyedia sarana produksi pertanian, dan lembaga pendukung lainnya.
Sumber : Iwan Setiawan, 2008. Alternatif Pemberdayaan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Lahan Kering (Studi Literatur Petani Jagung Di Jawa Barat). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Baca Selengkapnya »»

Tuesday, May 03, 2011

PENGEMBANGAN NILAI TAMBAH PERTANIAN

Pengembangan nilai tambah pertanian yang akan memberikan dampak pengganda yang cukup besar bagi perekonomian nasional adalah pengembangan produk non pangan. Terdapat tiga kelompok utama produk pangan, yaitu produk kesehatan, produk industrial dan produk hiburan/pendidikan. Produk kesehatan atau agriceutical (agrofarmaka) merupakan potensi pengembangan nilai tambah yang sangat besar.

Goldberg (2001) menyatakan bahwa pengembangan agriceutical merupakan peluang yang harus dimanfaatkan oleh unit usaha dan pemerintah. Peluang tersebut didorong oleh tuntutan kebutuhan konsumen akan produk farmasi yang tidak menimbulkan dampak sampingan serta semakin meningkatnya turbulensi lingkungan alam yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit dan gangguan kesehatan. Pengembangan pertanian yang mengarah pada produk industrial memiliki spektrum yang sangat luas dari mulai produk industri konvensional seperti olahan kayu, kertas dan tekstil sampai kepada produk bioenergi (biodiesel, bioetanol), produk oleokomia serta produk biopolimer. Pengembangan produk-produk non pangan sangat dibutuhkan oleh konsumen akhir dan konsumen akhir, baik sebagai produk yang langsung dikonsumsi ataupun sebagai bahan baku yang diolah lebih lanjut. Salah satu pendorong pengembangan produk non pangan adalah semakin dibutuhkannya sumber energi alternatif selain dari minyak bumi. Hal tersebut terjadi karena semakin tingginya harga produk dan energi berbasis sumberdaya mineral.

Produk non pangan lainnya adalah hiburan dan atau pendidikan yang terkait dengan bidang pertanian. Bisnis ini merupakan bisnis pelayanan jasa yang keberadaannya semakin dibutuhkan oleh masyarakat terutama terkait dengan masalah kenyamanan dan keberlanjutan kehidupan yang serasi. Integrasi antara pertanian dengan hiburan dan pendidikan merupakan sebuah katagori industri baru yang harus dieksplorasi pengembangannya. Produk tersebut memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai bisnis dan juga sebagai sarana pemupukan modal sosial dan ekologi karena dengan pendidikan dan hiburan yang diarahkan kepada masyarakat umum akan menimbulkan perhatian terhadap keberlanjutan pertanian dan kelestarian lingkungan.

Seluruh peluang dalam inisiatif nilai tambah pertanian dalam dunia nyatanya saling berinteraksi, seluruh inisiatif tersebut harus dirancang secara sistematik untuk mencapai satu tujuan, yaitu mencapai keunggulan kompetitif berbasis nilai tambah secara berkelanjutan. Nilai tambah tersebut dapat diciptakan pada suatu unit usaha, pada suatu unit kawasan bahkan pada suatu negara. Dalam mencapai hal tersebut diperlukan kolaboratif para stakeholders dalam pembangunan perekonomian nasional.

Sumber : Iwan Setiawan, 2008. Alternatif Pemberdayaan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Lahan Kering (Studi Literatur Petani Jagung Di Jawa Barat). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Baca Selengkapnya »»

Monday, April 04, 2011

TIPOLOGI PELUANG DALAM INISIATIF NILAI TAMBAH

Dari berbagai tipologi yang ada, terutama di bidang pertanian, peluang untuk memberikan nilai tambah pada hasil produksi pertanian tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah. Karena pada kenyataannya untuk memberikan nilai tambah pada suatu produk pertanian diperlukan berbagai jenis nilai tambah yang saling berinteraksi.

Dengan demikian keseluruhan jenis nilai tambah yang ada harus dapat dirancang secara sistematik untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu keunggulan kompetitif berbasis nilai tambah secara berkelanjutan. Dan untuk mewujudkannya diperlukan kerja sama aktif diantara para pelaku produksi pertanian.

Secara lebih spesifik, Amanor-Boadu (2005) menyatakan bahwa terdapat dua katagori utama peluang dalam pertanian yang dapat dikembangkan oleh para pelaku pertanian, yaitu: pangan dan non pangan. Pengembangan hasil pertanian menjadi produk pangan akan mengarah pada pengembangan pangan eksotik, pangan fungsional dan reposisi produk tradisional. Arahan tersebut terjadi karena tuntutan dari perubahan perilaku konsumen, dimana produk pangan tidak hanya berfungsi sebagai untuk kebutuhan dasar supaya sehat, tetapi berkembang ke arah fungsi makanan yang menyehatkan.

Sumber : Iwan Setiawan, 2008. Alternatif Pemberdayaan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Lahan Kering (Studi Literatur Petani Jagung Di Jawa Barat). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Baca Selengkapnya »»

Thursday, March 24, 2011

NILAI TAMBAH KOMODITAS PERTANIAN

Sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dalam pembangunan perekonomian nasional. Namun demikian, potensi sektor pertanian belum dikembangkan secara optimal. Hal tersebut tercermin dari sebagian besar hasil dari sektor pertanian masih berupa komoditas (produk segar). Hal tersebut mengakibatkan aktivitas usaha pertanian yang dilakukan terperangkap pada resiko yang diakibatkan karakteristik khas pertanian berbasis komoditas seperti fluktuasi harga, tingkat kerusakan yang tinggi, dan musiman. Kondisi tersebut mengkibatkan instabilitas kinerja para pelaku di sektor pertanian. Hal senada sering terjadi pada produk pertanian yang termasuk kedalam bahan pangan.


Dalam upaya mengurangi resiko khas pertanian berbasis komoditas, diperlukan berbagai upaya lanjutan berupa proses peningkatan nilai tambah (value added). Menurut USDA (Amanor-Boadu, 2005) nilai tambah dalam pertanian terbentuk ketika terjadi perubahan dalam bentuk fisik atau bentuk produk pertanian atau adopsi metode produksi atau proses penanganan yang bertujuan untuk meningkatkan basis konsumen bagi produk tersebut serta mendapatkan porsi yang lebih besar dari pengeluaran pembelanjaan konsumen yang tumbuh untuk produsen.

Berdasarkan definisi tersebut, secara lebih lanjut Amamor-Boadu (2004) menyatakan bahwa inisiatif nilai tambah bisnis pada suatu rantai pasokan yang ada terjadi sebagai imbalan atas aktivitas yang dilakukan oleh pelaku usaha industri hilir pada suatu rantai pasokan. Ukuran imbalan tersebut secara langsung dan proporsional ditujukan untuk kepuasan konsumen. Imbalan tersebut berbentuk harga yang tinggi, peningkatan pangsa pasar, dan atau peningkatan akses pasar. Dengan demikian, hal tersebut akan meningkatkan tingkat keuntungan bagi pelaku usaha.

Dalam bidang pertanian di Indonesia peluang untuk menghasilkan nilai tambah pada produk pertanian masih sangat terbuka lebar, mengingat nilai tambah yang ada saat ini sebagian besar terpaku pada upaya untuk menghasilkan produk segar. Sedangkan pengembangan produk hilir dari hasil pertanian masih terbatas. Terdapat beberapa peluang pengembangan industri hilir berbasis hasil pertanian diantaranya adalah industri pangan, industri biokimia, industri bioenergi, industri biofarmaka, industri biopolimer serta berbagai jenis industri lainnya.

Sumber : Iwan Setiawan, 2008. Alternatif Pemberdayaan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Lahan Kering (Studi Literatur Petani Jagung Di Jawa Barat). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Baca Selengkapnya »»

Friday, March 04, 2011

NILAI TAMBAH

Nilai tambah diartikan sebagai 1) besarnya output suatu usaha setelah dikurangi pengeluaran/biaya antaranya; 2) Jumlah nilai akhir dari suatu produk yang bertambah pada setiap tahapan produksi; 3) nilai output dikurangi dengan nilai input bahan baku yang dibeli dan nilai depresiasi yang disisihkan oleh perusahaan. Sebagai contoh, nilai tambah dari produk roti adalah nilai dari produk roti tersebut (nilai output) dikurangi dengan nilai dari tepung dan input lain yang dibeli dari perusahaan lain (nilai input) (Kamus Istilah, kementrian koperasi dan usaha kecil menengah 2000-2006). Nilai tambah merupakan selisih nilai penjualan dikurangi harga bahan baku dan pengeluaranpengeluaran lain yang bersifat internal.

Secara ekonomis, peningkatan nilai tambah suatu barang dapat dilakukan melalui perubahan bentuk (form utility), perubahan tempat (place utility), perubahan waktu (time utility), dan perubahan kepemilikan (potition utility).

  1. Melalui perubahan bentuk (form utility) suatu produk akan mempunyai nilai tambah ketika barang tersebut mengalami perubahan bentuk. Misal biji jagung berubah menjadi bentuk makanan ringan keripik jagung.
  2. Melalui perubahan tempat (place utility ) suatu barang akan memperoleh nilai tambah apabila barang tersebut mengalami perpindahan tempat. Misalnya jagung ketika berada di desa hanya dimanfaatkan sebagai makanan yang dikonsumsi sebagai jagung rebus saja, tetapi ketika jagung tersebut dibawa ke industri tepung (kota) akan dijadikan tepung.
  3. Melalui perubahan waktu (time utility ) suatu barang akan memperoleh nilai tambah ketika dipergunakan pada waktu yang berbeda.
  4. Melalui perubahan kepemilikan (potition utility ); barang akan memperoleh nilai tambah ketika kepemilikan akan barang tersebut perpindah dari satu pihak ke pihak yang lainnya. Misalnya ketika jagung berada pada tangan petani maka jagung tersebut hanya dijual dalam bentuk jagung pipilan, tetapi ketika jagung tersebut berada ditangan konsumen maka akan dimanfaatkan sebagai konsumsi.

Menurut Coltrain, Barton and Boland (2000) terdapat dua jenis nilai tambah, yaitu inovasi dan koordinasi. Kegiatan dari inovasi merupakan aktivitas yang memperbaiki proses yang ada, prosedur, produk dan pelayanan atau menciptakan sesuatu yang baru dengan menggunakan atau memodifikasi konfigurasi organisasi yang telah ada.

Sedangkan pengertian dari koordinasi merupakan harmonisasi fungsi dalam keseluruhan bagian sistem. Hal tersebut merupakan peluang dalam meningkatkan koordinasi produk, pelayanan informasi dalam proses produksi pertanian untuk menciptakan imbalan yang nyata dan meningkatkan nilai produk dalam setiap tahap proses produksi pertanian. Sebab jika dalam koordinasi produk terjadi kesenjangan koordinasi maka Chopra and Meindl (2003) menyatakan bahwa hal tersebut akan menimbulkan ”bullwhip effect” atau fluktuasi dalam pesanan, yang pada akhirnya akan mengakibatkan peningkatan biaya. Tipe nilai tambah koordinasi difokuskan pada hubungan vertikal dan horisontal diantara produsen, pengolahan, perantara, distributor dan pengecer.

Sumber : Iwan Setiawan, 2008. Alternatif Pemberdayaan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Lahan Kering (Studi Literatur Petani Jagung Di Jawa Barat). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Baca Selengkapnya »»

Thursday, February 24, 2011

TAKSONOMI JAGUNG

Jagung adalah sumber karbohidrat kedua setelah beras. Disamping itu jagung digunakan pula sebagai pakan ternak dan bahan baku industri. Taksonomi dari jagung adalah sebagai berikut (Suprapto dan Marzuki, 2005):

Kingdom : Plantae
Famili : Poaceae
Sub famili : Apnicoldeae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiosspermae
Clas : Dicotyledonea
Ordo : Tripsaceae
Genus : Zea
Spesies : Zea mays l

Jika dibandingkan dengan komoditas hasil usahatani lainnya, jagung memiliki keunggulan, yaitu potensi keterkaitan secara vertikal dan horisontal yang sangat tinggi. Keterkaitan vertikal merupakan keterkaitan jagung dengan berbagai subsistem dan atau subsektor perekonomian lainnya serta produk turunan (derivatif) jagung yang cukup beragam. Sedangkan secara horisontal, jagung memiliki keterkaitan yang tinggi karena dapat ditanam bersamaan dengan komoditas lainnya melalui pola pertanaman tumpang sari.

Tingkat-tingkat prasusu, susu dan adonan merupakan 3 (tiga) tahapan yang jelas dalam pemasakan biji-biji jagung (Ware dan McCollum, 1959). Tingkat prasusu ditandai dengan rasa manis, biji-biji yang langsing, masih muda dan kecil-kecil dan cairan jernih seperti air. Pada tingkat susu rasanya juga manis, tetapi bijinya menjadi lebih tua dan lebih besar, cairanya tampak seperti susu. Jagung dengan mutu terbaik diperoleh jika pada tingkat susu dengan ujung atas butir berisi penuh. Tingkat adonan ditandai dengan cepatnya perubahan gula ke karbohidrat. Pada tingkat ini mutunya jelek dan nilai jualnya rendah. Para petani biasanya memungut jagung pada tingkat susu.

Cara tanam diusahakan dengan jarak teratur, baik dengan ditugal atau mengikuti alur bajak. Populasi tanaman optimal berkisar antara 62.500 – 100.000 per ha, dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm, 2 tanaman per lubang. Untuk varietas lokal jarak tanamannya 75 cm x 30 cm, 2 tanaman per lubang dan untuk jagung hibrida 75 cm x 20 cm, 1 tanaman/ lubang dapat menghasilkan produksi yang baik. Dalam pemeliharaan tanaman dilakukan pemupukan, penyiangan, pembubunan dan pengendalian serta pemberantasan hama secara terpadu supaya hasil tanaman yang diperoleh maksimal.

Sumber : Iwan Setiawan, 2008. Alternatif Pemberdayaan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Lahan Kering (Studi Literatur Petani Jagung Di Jawa Barat). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Baca Selengkapnya »»

Saturday, February 19, 2011

BUAH NAGA (DRAGON FRUIT)

1. Persyaratan Tumbuh Tanam
Ditanam di dataran rendah, pada ketinggian 20 – 500 m diatas permukaan laut. Kondisi tanah yang gembur, porous, banyak mengandung bahan organik dan banyak mengandung unsur hara, pH tanah 5 – 7. Air cukup tersedia, karena tanaman ini peka terhadap kekeringan dan akan membusuk bila kelebihan air. Membutuhkan penyinaran cahaya matahari penuh untuk mempercepat proses pembungaan.


2. Persiapan Lahan
Persiapkan tiang penopang untuk tegakan tanaman, karena tanaman ini tidak mempunyai batang primer yang kokoh. Dapat menggunakan tiang dari kayu atau beton dengan ukuran 10 cm x 10 cm dengan tinggi 2 meter, yang ditancapkan ke tanah sedalam 50 cm. Ujung bagian atas dari tiang penyangga diberi besi yang berbentulk lingkaran untuk penopang dari cabang tanaman Sebulan sebelum tanam, terlebih dahulu dibuatkan lubang tanan dengan ukuran 40 x 40 x 40 cm dengan jarak tanam 2 m x 2,5 m, sehingga dalam 1 hektar terdapat sekitar 2.000 lubang tanam penyangga. Setiap tiang/pohon penyangga itu dibuat 3 – 4 lubang tanamdengan jarak sekitar 30 cm dari tiang penyangga. Lubang tanam tersebut kemudian diberi pupuk kandang yang masak sebanyak 5 – 10 kg dicampur dengan tanah.

3. Persiapan bibit dan penanaman
Buah naga dapat diperbanyak dengan cara : Stek dan Biji. Umumnya ditanam dengan stek dibutuhkan bahan batang tanaman dengan panjang 25 – 30 cm yang ditanam dalam polybag dengan media tanam berupa campuran tanah, pasir dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1 : 1. Setelah bibit berumur 2-3 bulan bibit siap dipindah/ditanam di lahan.

4. Pemeliharaan
Pengairan
Pada tahap awal perturnbuhan pengairan dilakukan 1 – 2 hari sekali. pemberian air berlebihan akan menyebabkan terjadinya pembusukan

Pemupukan
Diberikan pupuk kandang, dengan interval pemberian 3 bulan sekali, sebanyak 5–10 kg.

Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
Sementara belum ditemukan adanya serangan hama dan penyakit yang potensial. Pembersihan lahan atau pengendalian gulma dilakukan agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman.

Pemangkasan
Batang utama (primer) dipangkas, setelah tinggi mencapai tiang penyangga (sekitar 2 m ), dan ditumbuhkan 2 cabang sekunder, kemudian dari masing-masing cabang sekunder dipangkas lagi dan ditumbuhkan 2  cabang tersier yang berfungsi sebagai cabang produksi.

5. Panen
Setelah tanaman umur 1,5 – 2 tahun, mulai berbunga dan berbuah. Pemanenan pada tanaman buah naga dilakukan pada buah yang memiliki ciri – ciri warna kulit merah mengkilap, jumbai/sisik berubah warna dari hijau menjadi kemerahan. Pemanenan dilakukan dengan menggunakan gunting, buah dapat dipanen saat buah mencapai umur 50 hari terhitung sejak bunga mekar.

Sumber : http://benyaliwibowo.wordpress.com
Baca Selengkapnya »»

Friday, February 04, 2011

KETEPATAN PENGGUNAAN OBAT TRADISIONAL

1. Kebenaran Bahan
Tanaman obat di Indonesia terdiri dari beragam spesies yang kadang kala sulit untuk dibedakan satu dengan yang lain. Kebenaran bahan menentukan tercapai atau tidaknya efek terapi yang diinginkan. Sebagai contoh lempuyang di pasaran ada beberapa macam yang agak sulit untuk dibedakan satu dengan yang lain. Lempuyang emprit (Zingiber amaricans) memiliki bentuk yang relative lebih kecil, berwarna kuning dengan rasa yang pahit. Lempuyang emprit ini berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Jenis yang kedua adalah lempuyang gajah (Zingiber zerumbet) yang memiliki bentuk lebih besar dan berwarna kuning, jenis ini pun berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Jenis yang ketiga adalah lempuyang wangi (Zingiber aromaticum) yang memiliki warna agak putih dan berbau harum. Tidak seperti kedua jenis lempuyang sebelumnya, jenis ini memiliki khasiat sebagai pelangsing (Sastroamidjojo S, 2001). Di Belgia, 70 orang harus menjalani dialysis atau transplantasi ginjal akibat mengkonsumsi pelangsing dari tanaman yang keliru (WHO, 2003).

2. Ketepatan Dosis
Tanaman obat, seperti halnya obat buatan pabrik memang tak biasa dikonsumsi sembarangan. Tetap ada dosis yang harus dipatuhi, seperti halnya resep dokter. Buah mahkota dewa, misalnya, hanya boleh dikonsumsi dengan perbandingan 1 buah dalam 3 gelas air. Sedangkan daun mind baru berkhasiat jika direbus sebanyak 7 lembar dalam takaran air tertentu (Suarni, 2005).

Hal ini menepis anggapan bahwa obat tradisional tak memiliki efek samping. Anggapan bila obat tradisional aman dikonsumsi walaupun gejala sakit sudah hilang adalah keliru. Sampai batas-batas tertentu, mungkin benar. Akan tetapi bila sudah melampaui batas, justru membahayakan.

Efek samping tanaman obat dapat digambarkan dalam tanaman dringo (Acorus calamus), yang biasa digunakan untuk mengobati stres. Tumbuhan ini memiliki kandungan senyawa bioaktif asaron. Senyawa ini punya struktur kimia mirip golongan amfetamin dan ekstasi. Dalam dosis rendah, dringo memang dapat memberikan efek relaksasi pada otot dan menimbulkan efek sedatif (penenang) terhadap sistem saraf pusat ((Manikandan S, dan Devi RS., 2005), (Sukandar E Y, 2006)).

Namun, jika digunakan dalam dosis tinggi malah memberikan efek sebaliknya, yakni meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif) (Fang Y, et al., 2003). Asaron dringo, juga merupakan senyawa alami yang potensial sebagai pemicu timbulnya kanker, apalagi jika tanaman ini digunakan dalam waktu lama (Abel G, 1987). Di samping itu, dringo bias menyebabkan penumpukan cairan di perut, mengakibatkan perubahan aktivitas pada jantung dan hati, serta dapat menimbulkan efek berbahaya pada usus ((Chamorro G, et al., 1999),(Garduno L, et al., 1997), (Lopez ML, et al., 1993)). Berdasarkan fakta ilmiah itu, Federal Drugs of Administration (FDA) Amerika Serikat telah melarang penggunaan dringo secara internal, karena lebih banyak mendatangkan kerugian dari pada manfaat (Suarni, 2005).

Takaran yang tepat dalam penggunaan obat tradisional memang belum banyak didukung oleh data hasil penelitian. Peracikan secara tradisional menggunakan takaran sejumput, segenggam atau pun seruas yang sulit ditentukan ketepatannya. Penggunaan takaran yang lebih pasti dalam satuan gram dapat mengurangi kemungkinan terjadinya efek yang tidak diharapkan karena batas antara racun dan obat dalam bahan tradisional amatlah tipis. Dosis yang tepat membuat tanaman obat bisa menjadi obat, sedangkan jika berlebih bisa menjadi racun.

3. Ketepatan Waktu Penggunaan
Kunyit diketahui bermanfaat untuk mengurangi nyeri haid dan sudah turun-temurun dikonsumsi dalam ramuan jamu kunir asam yang sangat baik dikonsumsi saat dating bulan (Sastroamidjojo S, 2001). Akan tetapi jika diminum pada awal masa kehamilan beresiko menyebabkan keguguran. Hal ini menunjukkan bahwa ketepatan waktu penggunaan obat tradisional menentukan tercapai atau tidaknya efek yang diharapkan.

4. Ketepatan Cara Penggunaan
Satu tanaman obat dapat memiliki banyak zat aktif yang berkhasiat di dalamnya. Masing-masing zat berkhasiat kemungkinan membutuhkan perlakuan yang berbeda dalam penggunaannya. Sebagai contoh adalah daun Kecubung jika dihisap seperti rokok bersifat bronkodilator dan digunakan sebagai obat asma. Tetapi jika diseduh dan diminum dapat menyebabkan keracunan/mabuk (Patterson S, dan O’Hagan D., 2002).

5. Ketepatan Telaah Informasi
Perkembangan teknologi informasi saat ini mendorong derasnya arus informasi yang mudah untuk diakses. Informasi yang tidak didukung oleh pengetahuan dasar yang memadai dan telaah atau kajian yang cukup seringkali mendatangkan hal yang menyesatkan. Ketidaktahuan bisa menyebabkan obat tradisional berbalik menjadi bahan membahayakan.

Contohnya, informasi di media massa meyebutkan bahwa biji jarak (Ricinus communis L) mengandung risin yang jika dimodifikasi dapat digunakan sebagai antikanker (Wang WX, et al., 1998). Risin sendiri bersifat toksik/racun sehingga jika biji jarak dikonsumsi secara langsung dapat menyebabkan keracunan dan diare ((Audi J, et al., 2005), (Sastroamidjojo S, 2001)).

Contoh lainnya adalah tentang pare. Pare, yang sering digunakan sebagai lalapan ternyata mengandung khasiat lebih bagi kesehatan. Pare alias paria (Momordica charan tia) kaya mineral nabati kalsium dan fosfor, juga karotenoid. Pare mengandung alpha-momorchorin, beta-momorchorin dan MAP30 (momordica antiviral protein 30) yang bermanfaat sebagai anti HIV-AIDS ((Grover JK dan Yadav SP, 2004), (Zheng YT, et al., 1999)). Akan tetapi, biji pare juga mengandung triterpenoid yang mempunyai aktivitas anti spermatozoa, sehingga penggunaan biji pare secara tradisional dengan maksud untuk mencegah AIDS dapat mengakibatkan infertilitas pada pria ((Girini MM, et al., 2005), (Naseem MZ, et al., 1998)). Konsumsi pare dalam jangka panjang, baik dalam bentuk jus, lalap atau sayur, dapat mematikan sperma, memicu impotensi, merusak buah zakar dan hormon pria, bahkan berpotensi merusak liver ((Basch E, et al., 2003), (Lord MJ, et al., 2003)). Bagi wanita hamil, sebaiknya konsumsi pare dibatasi karena percobaan pada tikus menunjukkan pemberian jus pare menimbulkan keguguran.

6. Tanpa Penyalahgunaan
Tanaman obat maupun obat tradisional relatif mudah untuk didapatkan karena tidak memerlukan resep dokter, hal ini mendorong terjadinya penyalahgunaan manfaat dari tanaman obat maupun obat tradisional tersebut. Contoh :
a. Jamu peluntur untuk terlambat bulan sering disalahgunakan untuk pengguguran kandungan. Resiko yang terjadi adalah bayi lahir cacat, ibu menjadi infertil, terjadi infeksi bahkan kematian.
b. Menghisap kecubung sebagai psikotropika.
c. Penambahan bahan kimia obat

Pada bulan Mei 2003, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Pekanbaru menarik 9.708 kotak obat tradisional dari peredaran dan memusnahkannya. Obat yang ditarik dari peredarannya sebagian besar berupa jamu-jamuan yang mengandung bahan-bahan kimia obat (BKO) berbahaya bagi tubuh pemakainya. Bahan-bahan kimia obat yang biasa dicampurkan itu adalah parasetamol, coffein, piroksikam, theophylin, deksabutason, CTM, serta bahan kimia penahan rasa sakit seperti antalgin dan fenilbutazon (Kompas, 31 Mei 2003). Bahan-bahan kimia obat tersebut dapat menimbulkan efek negatif di dalam tubuh pemakainyajika digunakan dalam jumlah banyak.

Bahan kimia seperti antalgin misalnya, dapat mengakibatkan kerusakan pada organ pencernaan, berupa penipisan dinding usus hingga menyebabkan pendarahan. Fenilbutazon dapat menyebabkan pemakainya menjadi gemuk pada bagian pipi, namun hanya berisi cairan yang dikenal dengan istilah moonface, dan jika digunakan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan osteoporosis.

7. Ketepatan Pemilihan Obat untuk Indikasi Tertentu
Dalam satu jenis tanaman dapat ditemukan beberapa zat aktif yang berkhasiat dalam terapi. Rasio antara keberhasilan terapi dan efek samping yang timbul harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis tanaman obat yang akan digunakan dalam terapi.

Contoh, daun Tapak dara mengandung alkaloid yang bermanfaat untuk pengobatan diabetes. Akan tetapi daun Tapak dara juga mengandung vincristin dan vinblastin yang dapat menyebabkan penurunan leukosit (sel-sel darah putih) hingga ± 30%., akibatnya penderita menjadi rentan terhadap penyakit infeksi ((Bolcskei H, et al., 1998), (Lu Y, et al., 2003), (Noble RL, 1990), (Wu ML, et al., 2004)). Padahal pengobatan diabetes membutuhkan waktu yang lama sehingga daun Tapak dara tidak tepat digunakan sebagai antidiabetes melainkan lebih tepat digunakan untuk pengobatan leukemia.

Sumber : Lusia Oktora Ruma Kumala Sari, 2006. Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan dan Manfaatnya. Program Studi Farmasi Universitas Jember, Jember.
Baca Selengkapnya »»

Sunday, January 30, 2011

Permasalahan Pengembangan Kelembagaan Petani

Petani jika berusahatani secara individu akan terus berada di pihak yang lemah karena petani secara individu akan mengelola usaha tani dengan luas garapan kecil dan terpencar serta kepemilikan modal yang rendah. Sehingga, pemerintah perlu memperhatikan penguatan kelembagaan lewat kelompok tani karena dengan berkelompok maka petani tersebut akan lebih kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun permodalannya. Kelembagaan petani di desa umumnya tidak berjalan dengan baik ini disebabkan (Zuraida dan Rizal, 1993; Agustian, dkk, 2003; Syahyuti, 2003; Purwanto, dkk, 2007) :
  1. Kelompok tani pada umumnya dibentuk berdasarkan kepentingan teknis untuk memudahkan pengkoordinasian apabila ada kegiatan atau program pemerintah, sehingga lebih bersifat orientasi program, dan kurang menjamin kemandirian kelompok dan keberlanjutan kelompok.
  2. Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok masih relatif rendah, ini tercermin dari tingkat kehadiran anggota dalam pertemuan kelompok rendah (hanya mencapai 50%)
  3. Pengelolaan kegiatan produktif anggota kelompok bersifat individu. Kelompok sebagai forum kegiatan bersama belum mampu menjadi wadah pemersatu kegiatan anggota dan pengikat kebutuhan anggota secara bersama, sehingga kegiatan produktif individu lebih menonjol. Kegiatan atau usaha produktif anggota kelompok dihadapkan pada masalah kesulitan permodalan, ketidakstabilan harga dan jalur pemasaran yang terbatas.
  4. Pembentukan dan pengembangan kelembagaan tidak menggunakan basis social capital setempat dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan.
  5. Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan konsep cetak biru (blue print approach) yang seragam. Introduksi kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan.
  6. Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan pendekatan yang top down, menyebabkan tidak tumbuhnya partisipasi masyarakat.
  7. Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar mereka meningkat. Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya.
  8. Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada kontaktani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena tidak ada social learning approach.
  9. Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktural organisasi dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun wadahnya sudah tersedia.
Baca Selengkapnya »»

Thursday, January 20, 2011

Agroforestry

Program penghijauan atau penghutanan perlu terus dilakukan baik di lahan petani maupun di kawasan hutan. Sistem penanaman dalam pelaksanaan penghutanan kembali baik di dalam dan di luar kawasan dapat dilakukan dengan dua pola yaitu murni tanaman kayu (bisa satu jenis tanaman kayu atau campuran) maupun agroforestry. Sebenarnya agroforestry juga merupakan pola tumpang sari, yang memadukan tanaman tahunan dengan tanaman pertanian. Pola ini mampu menutup tanah dengan sempurna sehingga berpengaruh efektif terhadap pengendalian erosi dan peningkatan pasokan air tanah. 

 
Menyadari keberadaan masyarakat sekitar hutan sangat menentukan baik dan buruknya hutan. Perhutani dalam rangka pelaksanaan program pembangunan hutan, menerapkan pola agroforestry dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan untuk ikut berpartisipasi. Pada saat tanaman tahunan masih kecil petani sekitar hutan dapat mengusahakan lahan untuk budidaya tanaman semusim. Sehingga program pembangunan hutan bersama masyarakat (PHBM) yang dulu dikenal sebagai perhutanan sosial, akan berdampak positip ganda, disamping dapat membantu masyarakat secara ekonomis (dari hasil tanaman semusim dan rumput untuk pakan ternak) juga kelestarian tanaman hutan akan terjamin, karena tumbuh kesadaran petani untuk memeliharanya. Secara teknis konservasi, adanya variasi antara tanaman pertanian semusim dan /atau dengan rumput di antara tegakan tanaman tahunan, akan meningkatkan penutupan lahan secara sempurna. Komposisi penutupan ini secara efektif akan menekan laju erosi dan sedimen dan mengurangi evaporasi sehingga cadangan air tanah akan tersedia lebih banyak.
Baca Selengkapnya »»

Thursday, January 13, 2011

Prinsip-Prinsip Pengembangan Kelembagaan Petani

Lembaga di pedesaan lahir untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakatnya. Sifatnya tidak linier, namun cenderung merupakan kebutuhan individu anggotanya, berupa : kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan hubungan sosial, pengakuan, dan pengembangan pengakuan. Manfaat utama lembaga adalah mewadahi kebutuhan salah satu sisi kehidupan sosial masyarakat, dan sebagai kontrol sosial, sehingga setiap orang dapat mengatur perilakunya menurut kehendak masyarakat (Elizabeth dan Darwis, 2003). Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh suatu kelembagaan petani agar tetap eksis dan berkelanjutan adalah :

1. Prinsip otonomi (spesifik lokal). 
Pengertian prinsip otonomi disini dapat dibagi kedalam dua bentuk yaitu :
a. Otonomi individu.
Pada tingkat rendah, makna dari prinsip otonomi adalah mengacu pada individu sebagai perwujudan dari hasrat untuk bebas yang melekat pada diri manusia sebagai salah satu anugerah paling berharga dari sang pencipta (Basri, 2005). Kebebasan inilah yang memungkinkan individu-individu menjadi otonom sehingga mereka dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di dalam dirinya secara optimal. Individu-individu yang otonom ini selanjutnya akan membentuk komunitas yuang otonom, dan akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul (Syahyuti, 2007).

b. Otonomi desa (spesifik lokal).
Pengembangan kelembagaan di pedesaan disesuaikan dengan potensi desa itu sendiri (spesifik lokal). Pedesaan di Indonesia, disamping bervariasi dalam kemajemukan sistem, nilai, dan budaya; juga memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang dan beragam pula. Kelembagaan, termasuk organisasi, dan perangkat-perangkat aturan dan hukum memerlukan penyesuaian sehingga peluang bagi setiap warga masyarakat untuk bertindak sebagai subjek dalam pembangunan yang berintikan gerakan dapat tumbuh di semua bidang kehidupannya. Disamping itu, harus juga memperhatikann elemen-elemen tatanan yang hidup di desa, baik yang berupa elemen lunak (soft element) seperti manusia dengan sistem nilai, kelembagaan, dan teknostrukturnya, maupun yang berupa elemen keras (hard element) seperti lingkungan alam dan sumberdayanya, merupakan identitas dinamis yang senantias menyesuaikan diri atau tumbuh dan berkembang (Syahyuti, 2007).

2. Prinsip pemberdayaan.
Pemberdayaan mengupayakan bagaiamana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Inti utama pemberdayaan adalah tercapainya kemandirian (Payne, 1997). Pemberdayaan berarti mempersiapkan masyarakat desa untuk untuk memperkuat diri dan kelompok mereka dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri (Taylor dan Mckenzie, 1992). Pada proses pemberdayaan, ada dua prinsip dasar yang harus dipedomani (Saptana, dkk, 2003) yaitu :

a. Menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut cara yang dipilihnya sendiri.
b. Mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan ruang atau peluang yang tercipta tersebut. Kebijakan ini diterjemahkan misalnya di bidang ekonomi berupa peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan pasar, sedangkan di bidang sosial politik berupa tersedianya berbagai pilihan bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya. Pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan di pedesaan , meliputi : (a). Pola pengembangan pertanian berdasarkan luas dan intensifikasi lahan, perluasan kesempatan kerja dan berusaha yang dapat memperluas penghasilan; (b). Perbaikan dan penyempurnaan keterbatasan pelayanan sosial (pendidikan, gizi, kesehatan, dan lain-lain); (c). Program memperkuat prasarana kelembagaan dan keterampilan mengelola kebutuhan pedesaan.

Untuk keberhasilannya diperlukan kerjasama antara : administrasi lokal, pemerintah lokal, kelembagaan/organisasi yang beranggotakan masyarakat lokal, kerjasama usaha, pelayanan dan bisnis swasta (tiga pilar kelembagaan) yang dapat diintegrasikan ke dalam pasar baik lokal, regional dan global (Uphoff, 1992).

Pemberdayaan kelembagaan menuntut perubahan operasional tiga pilar kelembagaan (Elizabeth, 2007a) :
a. Kelembagaan lokal tradisional yang hidup dan eksisi dalam komunitas (voluntary sector).
b. Kelembagaan pasar (private sector) yang dijiwai ideologi ekonomi terbuka.
c. Kelembagaan sistem politik atau pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector).

Ketiga pilar yang menopang kehidupan dan kelembagaan masyarakat di pedesaan tersebut perlu mereformasikan diri dan bersinergis agar sesuai dengan kebutuhan yang selalu mengalami perkembangan. Inilah yang dimaksud dengan tranformasi kelembagaan sebagai upaya pemberdayaannya, yang dilakukan tidak hanya secara internal, namun juga tata hubungan dari keseluruhan kelembagaan tersebut.

Disisi lain, pemberdayaan kelembagaan pada masa depan perlu diarahkan agar berorientasi pada : a). Pengusahaan komoditas (pangan/non pangan) yang paling menguntungkan, b). Skala usaha ekonomis dan teknologi padat karya, c). Win-win mutualy dengan kemitraan yang kolehial, d). Tercipta interdependensi hulu-hilir, e). Modal berkembang dan kredit melembaga (bank, koperasi, petani), f). Koperatif, kompetitif dan transparan melalui sistem informasi bisnis, g). Memanfaatkan peluang di setiap subsistem agribisnis, serta h). Dukungan SDM yang berpendidikan, rasional, mandiri, informatif, komunikatif, dan partisipatif (inovatif) (Elizabeth, 2007b). Beberapa kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan adalah : adanya akses kepada informasi, sikap inklusif dan partisipasi, akuntabilitas, dan pengembangan organisasi lokal (Saptana, dkk, 2003).

3. Prinsip kemandirian lokal.
Pendekatan pembangunan melalui cara pandang kemandirian lokal mengisyaratkan bahwa semua tahapan dalam proses pemberdayaan harus dilakukan secara desentralisasi. Upaya pemberdayaan yang berbasis pada pendekatan desentralisasi akan menumbuhkan kondisi otonom, dimana setiap komponen akan tetap eksis dengan berbagai keragaman (diversity) yang dikandungnya (Amien, 2005).

Kegagalan pengembangan kelembagaan petani selama ini salah satunya akibat mengabaikan kelembagaan lokal yang hidup di pedesaan, karena dianggap tidak memiliki jiwa ekonomi yang memadai. Ciri kelembagaan pada masyarakat tradisional adalah dimana aktivitas ekonomi melekat pada kelembagaan kekerabatan dan komunitas. Pemenuhan ekonomi merupakan tanggungjawab kelompok-kelompok komunal genealogis. Ciri utama kelembagaan tradisional adalah sedikit kelembagaan, namun banyak fungsi. Beda halnya dengan pada masyarakat modern yang dicirikan oleh munculnya banyak kelembagaan dengan fungsi-fungsi yang spesifik dan sempit-sempit (Saptana, dkk, 2003).

Kemandirian lokal menunjukkan bahwa pembangunan lebih tepat bila dilihat sebagai proses adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat dari pada sebagai serangkaian upaya mekanistis yang mengacu pada satu rencana yang disusun secara sistematis. Kemandirian lokal juga menegaskan bahwa organisasi seharusnya dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).
Baca Selengkapnya »»

Tuesday, January 11, 2011

Sistem penanaman ganda (Multiple cropping)

Sistem penanaman ganda merupakan sistem bercocok tanam dengan menanam lebih dari satu jenis tanaman dalam sebidang tanah bersamaan atau digilir. Sistem ini dapat menunjang strategi pemerintah dalam rangka pelaksanaan program diversifikasi pertanian yang diarahkan untuk dapat meningkatkan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dengan tetap memperhatikan kelestariannya. 
 
Sistem pertanian ganda ini sangat cocok bagi petani kita dengan lahan sempit di daerah tropis, sehingga dapat memaksimalkan produksi dengan input luar yang rendah sekaligus meminimalkan resiko dan melestarikan sumberdaya alam. Selain itu keuntungan lain dari sistem ini : (a) mengurangi erosi tanah atau kehilangan tanah-olah, (b) memperbaiki tata air pada tanah-tanah pertanian, termasuk meningkatkan pasokan (infiltrasi) air ke dalam tanah sehingga cadangan air untuk pertumbuhan tanaman akan lebih tersedia, (c) menyuburkan dan memperbaiki struktur tanah, (d) mempertinggi daya guna tanah sehingga pendapatan petani akan meningkat pula, (e) mampu menghemat tenaga kerja, (f) menghindari terjadinya pengangguran musiman karena tanah bisa ditanami secara terus menerus, (g) pengolahan tanah tidak perlu dilakukan berulang kali, (h) mengurangi populasi hama dan penyakit tanaman, dan (i) memperkaya kandungan unsur hara antara lain nitrogen dan bahan organik. 

Menurut bentuknya, pertanaman ganda ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: pertanaman tumpangsari (Intercropping) dan pertanaman berurutan (Sequential Cropping). Sistem tumpang sari, yaitu sistem bercocok tanaman pada sebidang tanah dengan menanam dua atau lebih jenis tanaman dalam waktu yang bersamaan. Sistem tumpang sari ini, disamping petani dapat panen lebih dari sekali setahun dengan beraneka komoditas (deversifikasi hasil), juga resiko kegagalan panen dapat ditekan, intensitas tanaman dapat meningkat dan pemanfaatan sumber daya air, sinar matahari dan unsur hara yang ada akan lebih efisien.
Agar diperoleh hasil yang maksimal maka tanaman yang ditumpangsarikan harus dipilih sedemikian rupa sehingga mampu memanfaatkan ruang dan waktu seefisien mungkin serta dapat menurunkan pengaruh kompetitif yang sekecil-kecilnya. Sehingga jenis tanaman yang digunakan dalam tumpangsari harus memiliki pertumbuhan yang berbeda, bahkan bila memungkinkan dapat saling melengkapi. Dalam pelaksanaannya, bisa dalam bentuk barisan yang diselang seling atau tidak membentuk barisan. Misalnya tumpang sari kacang tanah dengan ketela pohon, kedelai diantara tanaman jagung, atau jagung dengan padi gogo, serta dapat memasukan sayuran seperti kacang panjang di dalamnya. 
Sistem penanaman ganda yang lain yaitu sistem tumpang gilir, yang merupakan cara bercocok tanaman dengan menggunakan 2 atau lebih jenis tanaman pada sebidang tanah dengan pengaturan waktu. Penanaman kedua dilakukan setelah tanaman pertama berbunga. Sehingga nantinya tanaman bisa hidup bersamaan dalam waktu relatif lama dan penutupan tanah dapat terjamin selama musim hujan.
Baca Selengkapnya »»