PARIWARA

Your Ad Here
Showing posts with label agroindustri. Show all posts
Showing posts with label agroindustri. Show all posts

Tuesday, November 17, 2009

HORTIKULTURA


Secara etimologis, kata Hortikultura berasal dari bahasa latin yaitu dari kata Hortus: kebun da Cultura: budidaya/pengelolaan. Hortikultura adalah ilmu dan seni bercocok tanam yang memerlukan pemeliharaan khusus, serta bercocok tanam tersebut dilakukan di kebun atau pekarangan. Pekarangan yang disebut Compound Garden atau Mixed Garden oleh Terra mendefinisikan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekeliling rumah dengan batas-batas yang jelas, serta umumnya di tanami berbagai jenis tanaman.

Ilmu hortikultura mencakup aspek produksi dan penanganan pascapanen yaitu: teknologi perbanyakan, penanaman, pemeliharaan, serta pascapanen. Sehingga ilmu hortikultura terkait erat dengan bidang ilmu lain seperti: Fisiologi, biokimia, genetika, entomologi, fitopatologi, ilmu tanah, klimatologi dan sebagainya. Luas lahan pertanian untuk lahan tanaman hortikultura di dunia adalah sangat kecil bila dibandingkan dengan luas lahan tanaman lain seperti serealia
(biji-bijian) yaitu kurang dari 10%.

Hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor yang menjadi kendala dalam pengembangan komoditas hortikultura yaitu:
1. lemahnya modal usaha.
2. rendahnya pengetahuan.
3. harga produk hortikultura sangat berfluktuasi, sehingga resiko besar.
4. umumnya prasarana transportasi kurang mendukung.
5. belum berkembangnya agroindustri yang memanfaatkan hasil tanaman hortikultura sebagai bahan baku.

Secara umum budidaya hortikultura meliputi: tanaman sayuran (vegetable crops); tanaman buah (fruit crops); dan tanaman hias (ornamental crops). Berdasarkan jenis tanaman yang dibudidayakan tersebut maka ilmu hortikultura dibagi berdasarkan komoditi yaitu:
1. Olericultura yaitu ilmu yang mempelajari tentang tanaman sayuran dan teknologinya, sehingga orang yang menekuni serta ahli dibidang tersebut dinamakan: Olericulturist.
2. Pomologi yaitu ilmu yang mempelajari tentang tanaman buah dan teknologinya, sehingga orang yang menekuni serta ahli dibidang tersebut dinamakan: Pomologist.
3. Floricultura yaitu ilmu yang mempelajari tentang tanaman hias dan teknologinya, sehingga orang yang menekuni serta ahli dibidang tersebut dinamakan: Floriculturist.

Sebelum kita membahas lebih jauh, maka terlebih dahulu dibuat pengertian tanaman buah (Pamologi). Tanaman buah adalah tanaman yang menghasilkan buah yang dimakan (komsumsi) dalam keadaan segar, baik sebagai buah meja atau bahan terolah dan secara umum tidak tahan disimpan lama. Sifat produk tanaman buah adalah:
1. Mudah rusak (perishable). Buah merupakan produk tanaman hortikultura yang dikenal mudah rusak, sehingga diperlukan suatu teknologi untuk mempertahankan mutu buah.
2. Resiko besar. Buah dengan sifat mudah rusak akan berpengaruh terhadap ketersediaan dan permintaan pasar, sehingga fluktuasi harga tinggi. Misalnya perubahan cuaca, adanya serangan hama atau penyakit tertentu akan mempengaruhi produksi baik kuantitas maupun kualitas.
3. Musiman. Tanaman buah umumnya tanaman berumur panjang (prennial), sehingga berbuah adalah musiman yang berakibat tidak tersedia setiap saat. Pada musim berbuah umumnya produk melimpah, sehingga diperlukan suatu teknologi untuk dapat menampung produk tersebut.
4. Bulky. Buah umumnya mempunyai kandungan air tinggi, sehingga memerlukan ruang besar atau perlakuan khusus di dalam transportasi maupun di penyimpanan. Hal tersebut akan menyebabkan biaya tinggi.
5. Spesialisasi geografi. Tanaman buah membutuhkan agroklimat tertentu untuk menghasilkan buah dengan kuantitas dan kualitas tertentu. Misalnya: salak Bali, jeruk Siam madu Karo, duku Palembang, rambutan Binjai, dan sebagainya.
Baca Selengkapnya »»

Tuesday, August 25, 2009

PROSPEK AGRIBISNIS NILAM


Agar pengembangan agribisnis nilam dapat berjalan dengan baik maka ada 4 pilar yang satu sama lain secara bersama-sama harus saling memberikan kontribusi, antara lain: (1) pilar budidaya nilam, (2) pilar pascapanen, (3) pilar pasar, (4) pilar modal. Keempat pilar tersebut sangat erat berhubungan dengan transfer teknologi yang harus dikawal mulai dari penggunaan varietas nilam unggul, pengolahan tanah yang baik, pemupukan berimbang berdasarkan konsep uji tanah, pemeliharaan tanaman yang konsisten terutama ketersediaan air sepanjang pertumbuhan tanaman, pencegahan serangan hama dan penyakit, proses pelayuan dan pengeringan daun yang benar, teknik penyulingan yang benar. Jika transfer teknologi tersebut dilakukan dengan baik dan benar, maka rendemen minyak nilam dapat ditingkatkan sampai 3% dan kadar patchouly alkohol dalam minyak nilam dapat ditingkatkan sampai 3%. Berdasarkan 4 pilar agribisnis nilam tersebut di atas yang harus diciptakan, sehingga sangat dimungkinkan dijadikan pertimbangan sebagai suatu kemungkinan Indonesia dapat mengekspor minyak nilam secara berkelanjutan dan menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor minyak nilam dunia terbesar sepanjang masa.

Seiring dengan semakin meningkatnya permintaan bahan baku parfum, kosmetika, farmasi, prospek agri-business dan agro-industry nilam di Indonesia adalah negara eksportir minyak nilam terbanyak, sebab memasok lebih dari 70% pangsa pasar dunia. Di samping itu, Indonesia juga mengekspor 14 jenis minyak atsiri lainnya dari 70 jenis minyak atsiri yang sangat dibutuhkan dunia. Oleh karena itu, pemerintah, petani, pengusaha alat suling, pedagang perantara, dan eksportir sebagai faktor penentu secara bersama-sama harus menciptakan sistem agri-business dan agro-industry nilam yang dikelola secara professional yang dipastikan dapat menyangga pertumbuhan ekonomi di Indonesia, jika tidak maka peluang target dari bisnisnya sulit dicapai.

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 telah berpengaruh pada kemunduran pertumbuhan ekonomi, sehingga dampak negatif terhadap peningkatan pengangguran, penurunan daya beli masyarakat, peningkatan harga pupuk dll. Salah satu cara untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia antara lain menciptakan sistem agri-business dan agro-industry nilam secara terpadu yang berpedoman pada kemauan pihak-pihak terkait dari unsur pemerintah dan swasta secara sinergis untuk melakukan kerjasama kemitraan sehingga target dari bisnisnya dapat dengan mudah dicapai. Namun dalam waktu yang tidak terlalu lama, target agribusiness dan agro-industry nilam yang semula dilakukan di Indonesia yang hanya menghasilkan minyak nilam kotor dengan rendemen minyak 3%, kemudian diekspor langsung ke Eropa, USA, Jepang tanpa harus melalui Singapura dengan harga yang lebih mahal.

Tanpa adanya political will pemerintah dari beberapa departemen terkait (Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan, Dalam Negeri dll) untuk saling bekerjasama dalam rangka implementasi salah satu program yaitu program agri-business dan agro-industry nilam dan program-program agribisnis lainnya, maka jangan diharap pertumbuhan ekonomi bangkit kembali. Keberlanjutan agri-business dan agro-industry nilam dapat direalisasikan selama ada jalinan kerjasama di antara Badan Litbang Pertanian untuk transfer of technology (rekomendasi pemupukan berimbang, penyediaan bibit nilam unggul nilam, pengendalian hama penyakit terpadu), petani, pengusaha alat suling, pedagang perantara, dan eksportir sebagai faktor penentu.

Ada beberapa strategi agar sistem pengelolaan agri-business dan agro-industry nilam terpadu untuk menyangga pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat terealisasi, antara lain:
(1) Optimalisasi fungsi Asosiasi Minyak Atsiri Indonesia; Asosiasi minyak atsiri (nilam) adalah sebagai suatu sistem organisasi, dimana anggotanya sebaiknya terdiri dari beberapa ahli (agronomi nilam, pasca panen nilam tentang pelayuan-penyulinganrefinisasi minyak nilam, menemukan klon-klon baru nilam, kesuburan tanah, konversi tanah, biologi tanah, agroklimat, dan ahli marketing) untuk berbuat sesuatu agar gagasan agri-business dan agro-industry nilam dapat direalisasikan secara berkelanjutan;
(2) Pembentukan peraturan agri-business dan agro-industry nilam; Peraturan adalah undang-undang untuk mengelola dan mengawasi agri-business dan agro-industry nilam, sehingga peraturan yang dibuat atau keterampilan yang dimiliki dapat digunakan sebagai jalan menuju keberhasilan, sehingga segala sesuatunya dapat dikendalikan untuk mencapai tujuan; meskipun peraturan yang dibuat sebagai aksi sepertinya tidak bersungguh-sungguh, tetapi sangat berarti sebagai cara untuk menghasilkan reaksi atau pengaruh yang sangat penting dalam suatu manajemen;
(3) Research and development, Research and development bertujuan untuk menemukan fakta-fakta baru atau informasi tentang dunia pernilaman antara lain rekomendasi pemupukan berimbang; Sampai saat ini, minyak nilam yang diburu adalah berasal dari Nangroe Aceh Darussalam, sebab aromanya sangat khas yang tidak dijumpai di daerah lain; Sangat beralasan jika kita dapat menemukan sesuatu bahwa aroma minyak nilam Aceh dapat diperoleh untuk tanaman nilam yang ditanam di Jawa relatif serupa di Aceh;

Peneliti nilam harus bekerja keras bahwa aroma, rendemen dan kadar patchouly alcohol adalah fungsi dari ketersediaan hara dalam jumlah optimal, iklim; Unsur hara apa yang sangat berpengaruh terhadap rendemen dan kadar patchouly alcohol dapat dilacak secara statistik dengan Principle Component Analysis; Demikian juga varietas nilam baru harus diproduksi serta dilakukan uji multi lokasi; Kemudian, sampai sejauh mana pemerintah tanggap untuk melakukan pemurnian minyak nilam, sehingga minyak nilam yang diekspor adalah bukan minyak nilam yang masih kasar, tetapi minyak nilam sudah diderivatisasi menjadi senyawa baru yang mempunyai senyawa patchouly alcohol yang berkadar 75%.

Kendala Pemasaran Minyak Nilam

Perbedaan harga minyak nilam di tingkat petani dengan pedagang pengumpul/eksportir terlalu banyak yang sampai saat ini sulit dikendalikan perbaikannya. Sesungguhnya harga minyak nilam dunia relatif stabil dengan harga cukup menjanjikan, namun harganya ditekan serendah mungkin oleh oknum yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa membela petani dengan alasan kadar patchouly alcohol di bawah standar (30%).

Pengembangan agri-business nilam terdiri pengolahan lahan sebaiknya dilakukan dua kali supaya tanah menjadi gembur, pembuatan saluran drainase supaya kadar air dalam tanah pada kondisi di sekitar kapasitas lapang, stek yang ditanam berasal dari tanaman yang sehat, pemupukan berimbang terdiri dari hara N, P, K, Ca, Mg, S, dan unsur mikro berdasarkan konsep uji tanah, penyiangan, pemangkasan untuk menghindari kanopi untuk tidak saling menutupi karena fotosintesa tidak optimal, pembumbuan setelah panen pertama, melakukan teknik konservasi secara vegetatif dengan mulsa untuk meningkatkan kandungan C-organik tanah dan menekan gulma, dan pengendalian hama penyakit.

Pengelolaan agro-industry nilam terdiri dari dua pekerjaan masing-masing pra penyulingan dan saat penyulingan. Pengelolaan agro-industry pra penyulingan terdiri dari pengeringan dan pelayuan yang harus diperhatikan, antara lain: (1) Pengeringan jangan dilakukan terlalu cepat, sebab mengakibatkan daun menjadi rapuh dan sulit disuling; Oleh karena itu, daun dijemur di atas tikar atau lantai semen untuk memperoleh sinar matahari selama 3 hari dari jam 10.00-14.00 sampai kandungan air dalam daun turun sekitar 15% sampai penyulingan akan dimulai; (2) Pengeringan jangan terlalu lambat, sebab mengakibatkan daun menjadi lembab dan mudah terserang jamur, sehingga rendemen dan mutu minyak yang dihasilkan rendah; (3) Tebal tumpukan daun yang dijemur 50 cm dan dibalik 2-3 kali sehari. Pengelolaan agroindustry pada saat penyulingan yang harus diperhatikan antara lain: (1) Terna kering berada pada jarak tertentu di atas permukaan air; Metode ini dikenal dengan cara dikukus; (2) Jika tangki alat suling yang digunakan berkapasitas 1.150 liter maka kerapatan daun 100-150 gram/liter atau 120-150 kg/1.150 liter, di mana daun nilam dikukus dengan sistem tekanan/boiler; (3) Alat Suling dikonstruksi dari bahan stainless steel supaya diperoleh hasil minyak berwarna lebih jernih; (4) Sebelum disuling, terna kering terlebih dahulu dibasahi air supaya mudah dipadatkan; (5) Penyulingan terna kering nilam akan menyerap air sebanyak bobotnya; (6) Waktu yang diperlukan dalam penyulingan secara dikukus sekitar 5-10 jam; (7) Kecepatan penyulingan secara dikukus 0.6 kg uap/kg ternak.
Baca Selengkapnya »»

Tuesday, January 20, 2009

KOPERASI DAN KORPORASI AGRIBISNIS


Institutional building sebagai prasyarat keharusan dalam pengembangan agribisnis yang bagian terbesar pelakunya petani “kecil dan gurem” adalah bangun koperasi dan korporasi agribisnis. Secara substansial, upaya kelembagaan tersebut pada dasarnya dapat dipandang sebagai langkah menuju rekonstruksi ulang dalam penguasaan dan akses sumberdaya produktif di bidang pertanian, terutama berkaitan dengan pengembangan agribisnis. Koperasi lebih merupakan soft-step reconstruction, sementara korporasi lebih merupakan rekonstruksi yang lebih “radikal”, atau hard-step reconstruction.

Bangun kelembagaan koperasi dipandang salah satu sosok yang tepat, mengingat entitas tersebut berciri sebagai asosiasi (perkumpulan orang/petani), badan usaha dan juga sebagai suatu gerakan (untuk melawan penindasan ekonomi dan ketidakadilan sistem pasar). Sejarah koperasi di Indonesia memang penuh dengan romantika sebagai akibat “terlampau kuatnya” dukungan pemerintah dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga dalam banyak hal menjadikan sosok koperasi di Indonesia sempat “kehilangan” jati dirinya. Di kalangan masyarakat sendiri, masih beragam pendapat tentang eksistensi koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia saat ini. Sebagian apatis, sehingga memerlukan pengkajian ulang mengenai eksistensi koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia. Sebagian lain memandang koperasi sebagai entitas yang perlu dikembangkan, walaupun seadanya saja. Sementara itu, berbagai pendapat lain merasa penting untuk mengembangkan koperasi sebagai sosok kelembagaan ekonomi yang kokoh bagi pemberdayaan masyarakat. 

Pendapat terakhir ini meyakini bahwa koperasi sebagai upaya kelembagaan dapat merupakan instrumen bagi upaya restrukturisasi ekonomi pertanian, untuk mewujudkan keseimbangan dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi pertanian. Ada dua argumen yang melandasi pendapat ini, yaitu (a) secara kolektif, koperasi dapat menghimpun para pelaku ekonomi pertanian dalam menjual produk-produk yang dihasilkannya dengan posisi tawar yang baik, dan (b) koperasi secara organisasi dapat menjadi wadah yang bertanggungjawab bagi kebutuhan pengadaan saprotan maupun kebutuhan lain secara bertanggungjawab pula.

Walaupun demikian, ke depan, usaha-usaha untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi bagi pengembangan agribisnis di perdesaan tahap awal tetap masih membutuhkan “ulur tangan” (kebijakan pemihakan) pemerintah secara langsung, akan tetapi dengan pengertian bentuk “ulur tangan” pemerintah tersebut harus ditempatkan dalam upaya pengembangan iklim berusaha yang sesuai. Misalnya, pengembangan program dan metoda penyuluhan pertanian yang diarahkan kepada upaya pengembangan orientasi dan kemampuan kewirausahaan, yang lebih mencakup substansi manajemen usaha dan penyesuaian terhadap materi-materi di bidang produksi dan pemasaran. Dalam hubungan ini maka pola magang dan sistem pencangkokan manajer dapat menjadi alternatif yang dipertimbangkan.

Masalah kelangkaan kapital yang seringkali menjadi kendala pengembangan agribisnis memerlukan kebijakan secara lebih hati-hati. Pemberian kredit yang murah seringkali justru dapat berakibat buruk bagi perkembangan kegiatan usaha dalam jangka panjang, jika tidak diikuti dengan upaya-upaya pengendalian yang baik. Alternatif yang dinilai lebih sesuai adalah dengan mengembangkan koperasi agribisnis yang menyediakan fasilitas kredit yang mudah, yaitu kredit yang memiliki kemudahan dalam perolehannya, kesesuaian dalam jumlah, waktu serta metode peminjaman dan pengembaliannya. Disamping itu pemberian kredit tersebut perlu di atur sedemikian sehingga kemungkinan reinvestasi dan keberhasilan usaha dapat lebih terjamin. Dalam hal ini bentuk supervised credit dapat menjadi alternatif model pemberian kredit. Banyak contoh sukses koperasi kredit di bidang agribisnis yang kuat dan besar, seperti Credit Agricole di Perancis, Rabobank di Belanda, dan lain-lain.


Pengembangan agribisnis dengan agro-industri perdesaan juga perlu didukung oleh kelembagaan yang sesuai, mengingat karakteristiknya yang sangat beragam. Dalam kelembagaan usaha tersebut misalnya, perlu dikaji kombinasi optimal dari penguasaan dan pemanfaatan skala usaha dengan efisiensi unit usaha, sesuai dengan sifat kegiatan yang dilakukan. Salah satu contoh, jika kegiatan agroindustri memang akan lebih efisien apabila dilakukan dalam skala yang relatif kecil, maka pengembangan kegiatan usaha individual perlu didorong. Akan tetapi untuk kegiatan pengangkutan yang memerlukan skala kegiatan yang lebih besar, perlu dipertimbangkan suatu unit kegiatan yang sesuai pula. Dengan demikian, dimungkinkan terjadinya kondisi dimana kegiatan agroindustri dilakukan secara individual (tidak harus dipaksakan berada dalam unit kegiatan koperasi misalnya), tetapi para agroindustriawan tersebut bersama-sama membentuk koperasi, atau unit usaha koperasi dalam bidang pengangkutan. 

Hal-hal semacam memerlukan penelaahan lebih lanjut secara mendalam, dikaitkan dengan sosok spesifik unit usaha yang dikembangkan dalam koperasi agribisnis tersebut. Oleh karena itu, dalam operasionalisasi pengembangan agribisnis/agroindustri di tingkat lokalita (kawasan perdesaan) akan dijumpai pula kondisi yang sangat beragam baik dari segi agroekosistem, sarana dan prasarana maupun kondisi sosial budayanya. Keragaman-keragaman tersebut jelas menghendaki rancang bangun kelembagaan yang mampu mengoptimalisasikan kinerja manajemen maupun teknologi. Dalam hal ini, beberapa contoh berkembangnya model-model kelembagaan agribisnis seperti SPAKU, KUBA, Desa Cerdas Teknologi, ULP2, Gerakan Kemitraan, Inkubator, Klinik Tani/Agribisnis, Asosiasiasosiasi Petani, pemanfaatan tenaga-tenaga perekayasa profesional yang berfungsi sebagai konsultan dan nara sumber, harus dipandang sebagai langkah esensial untuk mengakumulasikan modal sosial (social capital) yang harus terus-menerus didorong sebagai embrio dalam mewujudkan institutional building yang akan memperkokoh posisi tawar petani dalam agribisnis.

Dalam pada itu, korporasi petani dalam bidang agribisnis telah menjadi wacana dan diskusi publik sebagai suatu institutional building. Pesan yang lebih menonjol adalah pada lingkungan petani perkebunan (khususnya tebu-gula di BUMN perkebunan) di Jawa Timur. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Apakah pola BUMN perkebunan seyogyanya diprivatisasi menjadi swasta murni seperti kecenderungan yang ada, ataukah mengembangkan alternatif berupa korporasi masyarakat (petani) sebagai pemilik utama perkebunan tersebut? Banyak argumen yang membimbing kecenderungan rekonstruksi agribisnis tebu-gula tersebut, antara lain (a) besarnya biaya produksi kebun tebu, 60-70 persen, (b) memudarnya persenyawaan kepentingan antara subyek petani/rakyat, pemerintah/principal dan manajemen BUMN, (c) lemahnya reinvestasi baru yang dilakukan BUMN, (d) institusi korporasi dianggap paling tepat dalam penyelesaian asymetric power yang selama ini terjadi, (e) the best product hanya akan dihasilkan oleh the best community, (f) rigiditas pabrik dan fleksibilitas pilihan pemanfaatan lahan petani.


Korporasi masyarakat (petani agribisnis) pada dasarnya adalah perusahaan yang dimiliki oleh masyarakat (petani agribisnis). Korporasi masyarakat pada dasarnya akan menjadi kuat manakala memanfaatkan segenap social capital yang ada pada masyarakat tersebut. Contoh yang dikemukakan adalah pelajaran dari pengalaman empirik perusahaan American Crystal Sugar Company (ACSC) yang dibeli oleh 1300 petani pada tahun 1973 melalui NYSE senilai US$ 86 juta. Sejak saat itu, ACSC berkembang pesat, baik dalam areal, produksi, rendemen, kepemilikan petani, dan joint ventures. Demikian pula, pelajaran yang dikembangkan di Malaysia dalam merestrukturisasi kepemilikan saham melalui skema Amanah Saham Nasional tampaknya dapat menjadi bahan pengkajian.

Mengembangkan kelembagaan-kelembagaan di atas sebagai landasan gerak pengembangan agribisnis bagi para petani di perdesaan bukanlah merupakan hal yang mudah dan sederhana. Dibutuhkan dukungan kebijakan pemihakan yang lebih kuat, tidak cenderung berorientasi kepada yang kuat, tetapi lebih kepada yang lemah dan yang kurang berdaya (the under privileged). Kebijakan yang bersifat “netral” saja tidak cukup dalam pembangunan pertanian dan agribisnis, karena dibutuhkan pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat (petani) yang merupakan bagian terbesar di lapisan bawah. Untuk itu, pemerintahan memang harus mampu mengatasi hambatan psikologis, karena seringkali birokrasi strata atas di banyak negara berkembang seperti Indonesia umumnya merupakan kelompok elit suatu bangsa, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan diri atau mengasosiasikan diri dengan rakyat yang miskin dan terbelakang
Baca Selengkapnya »»